Jumat, 26 November 2010

PURWOREJO

CUPLIKAN SEJARAH BERDIRINYA PURWOREJO (MONUMEN KAYU ARAHIWANG)

by PURWOREJO KONDANG SALOKA on Thursday, May 13, 2010 at 10:40pm

Konon pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.

Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro
Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “Parahiyangan”. Atau para hyang berada.Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.


Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.




UPACARA PERTAMA

Pada tanggal 5 Oktober 901 M di Boro Tengah Dilakukan upacara, dimana upacara tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak.
Sehingga Peristiwa 5 Otober 901 M itu akhirnya ditetap kan dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten Purworejo tanggal 5 Oktober 1994 ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
(sumber buku potensi wisata purworejo)


Demikian Sedikit cuplikan sejarah Bibit Kawit asal muasal kota Purworejo kita, Sungguh sangat berharga sekali sejarah yang terkandung di kota purworejo ini.
Tetapi melihat kenyataan sekarang Monumen Arahiwang tersebut tidak begitu diperhatikan dan kurang nya perawatan, kerusakan dan sampah yang berserakan, lampu lampu penerang yang rusak pecah...sama sekali tidak ada perhatian...ini menunjukan bahwa kita tidak menghargai sejarah...Bahkan mungkin monumen itu dibersihkan sekali dalam setahun ditiap tiap akan diadakanya peringatan hari jadi kota Purworejo...setelah itu diterlantarkan begitu saja....

purworejo

Kabupaten Purworejo memiliki sejarah yang sangat tua, dimulai dari zaman Megalitik disinyalir telah ada kehidupan dengan komunitas pertanian yang teratur, terbukti dengan sejumlah peninggalan sejarah di masa MEGALITH berupa MENHIR Batu Tegak di sejumlah wilayah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketika zaman Hindu Klasik, kawasan Tanah Bagelen berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi : Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa.

Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. Indikasi ini tercermin pada nama “Watukoro” yang menjadi nama sebuah Sungai Besar, Sungai ini disebut juga dengan nama Sungai Bogowonto. Disebut demikian, mengingat pada masa itu di tepian sungai sering terlihat pendeta (Begawan).


Petilasan suci berupa Lingga, Yoni dan Stupa tempat para begawan melakukan upacara dapat dilihat di wilayah Kelurahan Baledono, Kecamatan Loano dan Bagelen. Desa Watukoro sendiri terdapat di muara sungai Bogowonto dan masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi.
Pengembangan Agama Islam di wilayah Purworejo, dilakukan oleh Ki Cakrajaya seorang tukang sadap nira dari Bagelen, murid dari Sunan Kalijogo. Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Peninggalan Sunan Geseng banyak terdapat di Bagelen dan Loano.Kenthol Bagelen yang merupakan Pasukan Andalan Sutawijaya, tokoh yang kemudian naik tahta menjadi Panembahan Senopati, merupakan dasar pembentukan Kerajaan Islam Mataram. Pada periode berikutnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, pasukan dari Bagelen inilah yang memberikan andil besar dalam penyerangan ke Batavia dan termasuk pasukan inti Mataram.

Akibat dari Perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Kerajaan Jawa menjadi 2, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, tanah Bagelen-pun menerima dampaknya, dimana tanah Bagelen dibagi menjadi 2 bagian untuk Yogyakarta dan Surakarta, tapi karena tidak jelasnya batas-batas pembagian tersebut, mengakibatkan sengketa yang berkepanjangan.Masa Perang Diponegoro meletus (1825 - 1830) tanah Bagelen menjadi basis perlawanan Pangeran Diponegoro. Melihat adanya pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, maka Jenderal De Kock meminta bantuan pasukan dari Kerajaan Surakarta.


Menghadapi ini, Belanda yang dipimpin oleh panglimanya Kolonel Cleerens membangun markas besar garnisun di Kedongkebo tepi Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen
Paska Perang Diponegoro, Tanah Bagelen dan Tanah Banyumas diminta paksa oleh Belanda. Kemudian Belanda menghadiahkan kepada Ngabehi Resodiwiryo yang berjasa membantu melawan pemberontak, menjadi Penguasa Tanggung dengan gelar Tumenggung Cakrajaya yang selanjutnya diangkat menjadi Bupati (Regent) Kabupaten Purworejo dengan Gelar Cokronegoro. Pelantikan dilakukan di Kedungkebo, markas garnisun Belanda dan yang melantik adalah Kolonel Cleerens.


Wilayah Kabupaten Purworejo ketika itu adalah seluas 263 Pal persegi atau sekitar 597 Km persegi, meliputi Kawasan Timur Sungai Jali. Sedangkan wilayah seluas 306 Km persegi di Barat Sungai Jali, merupakan wilayah Kabupaten Semawung (Kutoarjo) dan dipimpin oleh Bupati (Regent) Sawunggaling. Pada perkembangan lebih lanjut, Kedongkebo yang merupakan basis Militer Belanda digabung dengan Brengkelan dan menjadi Purworejo. Sedangkan Tanah Bagelen oleh Pemerintah Kolonial Belanda dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibu Kota Purworejo.
Wilayah Karesidenan Bagelem meliputi, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Kutowinangun, Kabupaten Remo Jatinegara (Karanganyar) dan Kabupaten Urut Sewo atau Kabupaten Ledok atau Kabupaten Wonosobo.
Residen Bagelen bertempat tinggal di Bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pemerintah Daerah Purworejo atau lebih dikenal dengan nama Kantor OTONOM yang lokasinya di bagian Selatan Alun-alun Purworejo.

VIDIEO KU

ISLAM INDONESIA

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA


Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.





Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Jumat, 19 November 2010

"SYALAFIZ"

RasuluLlah SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian mereka yang mengikuti mereka. Kemudian, setelah kamu ada orang-orang yang bersaksi tanpa diminta untuk melakukannya, mereka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersumpah dan tidak memenuhinya….” [Al Bukhari dan Muslim]
Dengan tujuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah Salafi sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara istilah berikut; As salaf, As Salafiyyah dan As Salafi.
1.      Kata As Salaf di cirikan pada sebuah era, dalam bentuk jamak disebut Al Aslaaf.Ayat dibawah ini menggunakan kata Salaf untuk pengerti secara tepat: 
“Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya.” Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. [QS Al Zukhruf, 43, 51-56]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.  Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” [QS Al Ma’idah, 5: 95]
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS An Nisaa’, 4: 22]
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS Al Baqarah, 2: 275]
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS An Nisaa’, 4: 23]
As Salaf secara bahasa adalah lawan dari khalaf yang berarti era sebelumnya dan sesudahnya. As Salaf terbagi menjadi dua era;
-    As Salafus SalihIni adalah adalah golongan yang pertama dalam Ummat ini seperti Aadam, Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa (as) dan lainnya serta RasuluLlah Muhammad SAW beserta Shahabat-shahabatnya ra. 
-    As Salafut TaalihIni termasuk seperti Iblis dan Fir’aun sebagaimana Allah SWT menyebutkannya dalam Qur’an. 
2.      Istilah As Salafiyyah adalah karekteristik pada sebuah manhaj, pluralnya disebut salafiyun. Kata ini diambil dari kata kerja Salafa yang berarti apa saja yang telah selesai, telah berlalu atau yang telah dimulai.
Istilah As Salafiyyah adalah sinonim dari apa yang disebut standar Islam (merujuk pada buku Standar Islam pada bab 1 oleh Syeikh Omar Bakri Muhammad) sebagaimana itu menujuk pada manhaj mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabah.
As Salafiyyah adalah standard dan itu bukan suatu karakter kelompok atau seseorang, selanjutnya bahkan menggunakan istilah seperti Salafiyyah Jihaadiyyah kurang tepat karena Salafiyyah secara defenisi termasuk Jihad.
As Salafiyyah dipahami sebagai berikut:
Ahlul Hadits – Ahli Hadits
Ahlul Atsar – Ahli Riwayat
Ahlul Jama’ah – Orang-orang dalam Jama’ah
Ahlus Sunnah – Orang-orang Sunnah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Al Firqatun Naajiyah – Golongan yang selamat
At Taa’ifah Al Mansurah – Kelompok yang dimenangkan
Al Ghurabaa – Orang-orang yang terasing
Al Mufridun – Orang-orang yang taat
Al Muwahhidun – orang-orang yang taat
An Nuzaa’minal Qabaa’il – orang-orang yang menolak kebiasaan dan tradisi
A Immatul Hudaa
Ahlul ittabaa’ – Mereka yang mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabat, yang berlawanan Ahlul Ibtidaa’ yang mengikuti lainnya dan bid’ah.
3.      Istilah As Salafi adalah karekter seseorang yang membawa keyakinan dan manhaj tertentu.
Kesimpulan
As Salaf – Ketika menyebutkannya merujuk pada Imamus Salaf yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Shahabat-shahabatnya sebagai sebuah era yaitu generasi pertama.
As Salafiyyah – ini berarti ‘dalam jalan salaf’ merujuk pada metode tertentu atau mekanisme untuk memahami, merujuk dan mengikuti wahyu.
As Salafi – Merujuk pada seseorang yang mengikuti keyakinan dan metode tertentu (manhaj As Salafiyyah). 
Apakah diperbolehkan menggunakan istilah Salafi? 
Rasulullah SAW duduk bersma Fatimah ra dan dia merasa sedih, dia bertanya pada Rasulullah SAW jika kamu wafat besok siapa yang akan aku ikuti? Beliau SAW berkata; ‘Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu wahai Fatimah.’ [Muslim, No, 2482] 
Jika RasuluLlah SAW adalah sebaik-baik Salaf bagi Fatimah untuk merujuk pada setelah dia wafat maka beliau juga adalah sebaik-baik Salaf untuk kita ikuti. 
Diriwayatkan oleh Rasyid Bin Sa’ad dalam bab menaiki kuda liar; salaf dahulu menyukai mengendarai kuda liar betina. [Bukhari, jilid 6. hal 66, Fathl Bari] 
Rasyid Ibnu Sa’ad adalah seorang Taabi’ akbar dan selanjutnya salaf baginya adalah Shahabat. Ibnu Hajar berkata bahwa salaf disini adalah Rasulullah SAW dan para Shahabatnya. 
Pada bab apa yang shahabat simpan dalam rumahnya (makanan), diriwayatkan oleh Imam Zuhri dimana dia berkata ‘Aku berada pada salafus salih (ulama salaf) dan mereka akan menyimpan makanan dan bahkan tulang gajah untuk menyisir rambut mereka, untuk sabun dan transportasi.’ [Bukhari, jilid 1 hal 342, Fathul Bari dan Bukhari, Jilid 5 hal. 208] 
Ibnu Hajar berkata bahwa salaf bagi Ulama adalah RasuluLlah SAW. Hadits Muhammad Ibnu Abdullah, Ali Bin Syuqaiq mendengar Ibnu Mubarak berkata ‘Aku tidak mengambil Hadits dari Amru Ibnu Tsabit karena dia tidak setuju dengan beberapa salaf’. [Muqadimah Shahih Muslim, hal. 6] 
Imamal Uzai’, Kitaab ul Syariyyah, Jilid 58 oleh Imam Al Aujirii berkata berkaitan dengan ayat: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”. [Al Anfal, 38] Tetap berdiri pada Sunnah dan berdiri dimana Salaf telah berdiri dan berkata apa yang telah mereka katakan, menahan diri dari apa yang mereka hindari, mengikuti manhaj Salafus Shalih, apa yang cukup bagi mereka adalah cukup bagi mereka.’
Ada ijma dari Tabi’in dan Tabi Tabi’in tentang istilah ‘salaf’.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ada ijma tentang istilah salaf dalam kitabnya Al Fataawa, Jilid 1, hal. 149 dimana dia menjawan Al Izzul dien Ibnu Abdus Salam adalah seorang yang beraqidah Ashari menyatakan menjadi seorang salafi. Ibnu Taimiyah berkata; …dan itu adalah orang yang menyamarkan dirinya sendiri dengan Mahzab salaf, tidak punya rasa malu atas orang yang mengklaim mengikuti salaf dan mengatributkan dirinya pada mereka dan menyatakan menjadi seorang salafi, kita harus menerima ini darinya karena jalan salaf adalah haq dan jika apa yang kamu sembunyikan sama dengan apa yang kamu tampakan maka kamu adalah mu’min dan jika itu tidak maka kami akan menilai yang ditampakkan dan Allah SWT mengetahui apa yang disembunyikan, dan in adalah apa yang Allah wajibkan kepada kita untuk menilai.
Apa yang Ibnu Taimiyah katakan adalah bahwa kita seharunya menerima dari seseorang yang mengklaim mengikuti salaf dengan menyebut dirinya sebagai seorang salafi dengan tujuan untuk mendorongnya dalam mengikuti manhaj ini, yang lebih baik daripada mengatakan bahwa mereka adalah Ashari dan Maturidi.
Tanda-tanda Ahlul Bid’ah adalah bahwa mereka tidak suka disebut Salafi
Ibnu Taimiyah, jilid 4 hal hal. 155, Kitabul Fatawa berkata; slogan ahlul bid’ah adalah bahwa mereka tidak pernah setuju diatributkan pada salaf.
Hafidz Ibnu Maruuf Ibnu Muhammad juga mengetahui sebagaimana Abu Tahir As Salafi bahwa ‘Salafi’ mempunyai dua fatha dan dia adalah seseorang yang mengikuti jalan salaf.
Muhammad Ibnu Muhammad Al Bahraani berkata bahwa dia berlaku sebagaimana salafi.
Ahmad Ibn Ahmad Al Maqdisi berkata bahwa dia seseorang yang berada pada Aqidah Salaf.
Daaruqutuni berkata bahwa tidak ada yang aku benci selain ilm kalam, tidak ada seorangpun yang memasuki ilmu ini, membantah dan berdebat kecuali Ahlul Bid’ah. Imam Dhahabi berkata tentangnya bahwa dia tidak pernah berbicara tentang Kalaam dan bahwa dia seorang Salafi.
Sebagian orang berkata bahwa tidak dibolehkan untuk menyebut diri kita salafi disaat apa yang Allah SWT katakan dalam Qur’an… maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. [QS An Najm, 53:32]
Fuqaha berkata bahwa jika seseorang berkata aku Atsari atau salafi dibolehkan melakukannya jika dia menjelaskan aqidahnya kepada orang lain, jika itu lakukan dengan tujuan untuk memuji dirinya sendiri maka itu dilarang.
Alasan bahwa kita tidak menggunakan istilah salafi dan mengatributkan diri kita karena Allah SWT melarang kita untuk memuji diri kita dan selanjutnya dilarang menggunakannya kecuali kita menginformasikan kepada orang lain tentang aqidah kita dengan tujuan agar mereka mengerti.

KALGES ETAWA

Sejarah Kambing Peranakan Etawa (P.E) yang berada di desa Donorejo, Kec Kaligesing, Kab Purworejo merupakan kambing keturunan Etawa asal negara India yang dibawa oleh penjajah Belanda.
Kambing tersebut kemudian di kawin silangkan dengan kambing lokal di Kaligesing. Hingga saat ini kambing Peranakan Etawa dikenal sebagai ras kambing Peranakan Etawa asli Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
Pada saat ini Kambing Peranakan Etawa ini terus dikembangbiakkan. Kambing Peranakan Etawa diminati oleh banyak orang terutama di sekitar Jawa Tengah sehingga kambing ini menyebar pesat ke berbagai wilayah di Kabupaten Purworejo bahkan hingga ke luar Purworejo seperti ke Kulon Progo, Kendal, Sidoarjo-Jatim, bahkan saat ini telah memasuki pasar dunia termasuk ke Malaysia
Kambing Peranakan Etawa ini memiliki ciri khas pada bentuk mukanya yang cembung, bertelinga panjang-mengglambir, postur tubuh tinggi (gumla) antara 90-110 cm, bertanduk pendek dan ramping.
Kambing jenis ini mudah berkembang dengan baik di daerah berhawa dingin, seperti daerah sekitar pegunungan atau dataran tinggi .
Kambing jenis ini memiliki badan besar warna bulu beragam, belang putih, merah coklat, bercal, bercak hitam atau kombinasi ketiganya dan pada bagian belakang terdapat bulu yang lebat dan panjang.
Panggemar kambing Peranakan Etawa umumnya sangat menyukai keindahan bulu dan bentuk mukanya.
Karena itu sangat jarang jenis kambing ini dijadikan kambing semblihan (potong) untuk dimakan, mereka lebih memfungsikannya sebagai “klangenan atau piaraan” untuk koleksi.atau Prestige Bahkan konon jaman dulu, bagi yang memiliki kambing Etawa akan terlihat “selera” dan “siapa” orang itu di mata masyarakat.



Saat ini pengembangan terpadu kambing Etawa ditawarkan kepada investor oleh Pemerintah Daerah. Diharapkan tawaran ini mendapat respon positif mengingat potensi pasarnya yang masih belum tergarap optimal.

HABIB SYEH



adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami' Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya. Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosull yang diawali dari Kota Solo. Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosullnya, tanpa di sadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama'ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosull SAW dalam kehidupan ini.
Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosull SAW, berdiri sekitar Tahun1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .
Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf

KEGIATAN AHBABUL MUSTHOFA

Pengajian Rutin (zikir & sholawat)
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba'da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .
Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa
- Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
- Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
- Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
- Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
- Jogja ( Malam Jum'at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
- Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.

BIOGRAPHY HABIB SYECH BIN ABDULKADIR ASSEGAF

Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf was born in Solo city, Indonesia. When he was young he was the ‘muazzin’ for the Assegaf Mosque in Solo. At times, he read the Qasidah at Masjid Riyadh with the late Habib Anis Al Habsyi. He regularly led the singing and reading of Qasidah and ‘Sholawat’ with Majlis of Ahbaabul Mushthofa with the various Wirid such as Ratib Al Attas, the Diwan and ‘Sholawat’ of Habib Ali Al-Habsyi and the Diwan and Qasidah of the famous Imam Abdullah Al Haddad

para tokoh ulama

para tokoh ulama
Foto bersama KH. Sya'roni Ahmadi dan Habib Alwi Ba'agil

CD QOSIDAH

CD QOSIDAH

NADA SAMBUNG QOSIDAH

NADA SAMBUNG QOSIDAH

ASHAB AHBABUL MUSTHOFA KUDUS

ASHAB AHBABUL MUSTHOFA KUDUS

15 November, 2010


Release CD Qosidah Terbaru Vol. 8


Awal November ini, Ahbaabul Musthofa Record kembali merelease CD Qosidah Habib Syech bin Abdulqodir Assegaf, yg berisi Qosidah2 terbaru dengan hit Qosidah Yaa Hanaana, selama 2 minggu peluncurannya, CD Qosidah Vol. 8 ini , telah banyak mendapat kesan di hati para Pencinta Qosidah, terbukti dengan terjualnya sampai dengan 5.000 keping CD.

Semoga dengan mendengarkan CD Qosidah ini dapat menambah ketaqwaan kita kepada Sang Pencipta Semesta Allah SWT, dan lebih Mencintai lagi Rosullullah Muhammad SAW.

Terimakasih buat para Pecinta Qosidah, semoga bisa bermanfaat bagi Ummat...Amin

19 Juli, 2010


Yang Ter Didunia

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI“. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185).

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU“. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu.

Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).

Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan selanjutnya adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Pertanyaan yang selanjutnya adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?“. Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHALAT.

Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan shalat, gara-gara aktivitas kita meninggalkan shalat.

Dan pertanyaan terahkir adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA“. Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

11 Juni, 2010


Wanita Setara 1000 Laki - Laki




Di sebuah masjid di perkampugan di negara timur tengah ada kisah nyata, Ketika itu menjelang matahari terbenam.namun di kejauha masih ada sekelompok anak-anak sedang Menggaji di sebuah surau, di Temani oleh guru mereka, kebetulan mereka sedang belajar Al Quran dan di bimbing oleh sang guru itu sendiri. Tiba-tiba masuk seorang anak kecil yang ingin bergabung bersama mereka, usinya sekitar 9 tahun.namun Sebelum mempersilahkan anak kecil tadi bergabung dengan kelompok yang lain, sang guru berinisiatif Melihat kemampuaya.


Kemudian sang guru bertanya: “Apakah kamu hafal surat Dalam Al Quran?” Anak itu menjawab: “Ya” jawabnya singkat Sang guru melanjutkan: “Kalau begitu coba kamu hafalka surat dalam jus Amma?” Kemudian Sang anak: “Membacakan Beberapa surat yang ada dalam jus Amma dan membacanya dengan lancar”. Ternyata sang guru semakin penasaran, dengan kehadiran tamu kecilnya itu, guru Menanyakan Kemudian lagi “Apakan kamu hafal surat tabaraka (Al Muluk)?” Sang Anak menjawab: “ya” Kemudian membacanya lagi, ternyata anak kecil tadi membaca dengan baik dan bernyanyi Lancar.Kemudian guru tidak berhenti sampai di situ, sang guru bertanya lebih jauh, “Apakah kamu hafal surat An Nahl?” Sang anak menjawab “ya “dan membacanya dengan baik dan lancar pula.Kemudian guru menguji bernyanyi dengan surat yang lebih panjang,” Apkah kamu hafal surat Al Baqarah? “Sang anak menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian membaca dengan baik dan benar.Akhirnya guru bertanya, untuk yang terakhir kalinya “Apakah kamu hafal Al Quran” Sang anak menjawab “Ya”. Kemudian guru mempersilahkan anak tadi bergabung bersama kelompoknya, menjelang Magrib menemui guru setelah anak kecil tadi, berpesan “Besok, Jika kamu datang lagi ke masjid ini, tolong ajaklah orang tuamu. Aku akan Berkenalan dengan mereka” Baik “jawab sang anak.
Ke esokan harinya. Bertemulah sang guru dengan ayah anak itu, namun guru tersebut sedikit terkaget-kaget dan keheranan. Sebelum itu berlangsung lama, sang ayah menjelaskan “aku tahu, anda tidakakan percaya aku adalah ayah dari anak ini.namun rasa heran anda kan aku jawab, Bahwa di belakang anak ini ada seorag ibu yang kekuatanya sama dengan seribu laki-laki. aku katakan pada anda Bahwa di rumah, aku masih memiliki tiga anak yang semuanya hafal Al Quran Sedangkan anakku yang perempuan berumur 4 tahun telah hafal jus amma.
Bagaimana ibunya bisa Melakukan itu? “Tanya guru itu dengan kebingungan...

24 Mei, 2010


Nenek 120 Tahun Lancar Baca Alquran

Siapa sangka, Nenek Minah yang mengaku sudah berusia sekitar 120 tahun masih bisa membaca Alquran dengan jarak 25 cm tanpa bantuan kacamata.
Saat memperlihatkan kemampuannya itu, sejumlah petugas Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyaksikan hanya bisa berdecak kagum. Jika pengakuannya benar, Minah mungkin orang tertua di Jawa. Ia tinggal di Kampung/Desa Cogreg, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya.

Sempat menikah dua kali, ia hanya memiliki seorang anak, Sukaesih (80). Dari anaknya ini, ia kini memiliki tiga cucu, 12 cicit serta sembilan bao. "Nini mah kieu we sapopoe teh. Mun teu ngaji, jalan-jalan ngalongok buyut jeung bao (Kebiasaan nenek tiap hari, kalau tidak mengaji paling lihat-lihat cicit dan anak cicit)," tutur Nenek Minah dengan suara masih nyaring dan jelas, saat ditemui di rumah Lilis (29), seorang cicitnya, Rabu (12/5/2010).

Kondisi fisik Nenek Minah tampak sehat. Kerutan di wajahnya tidak memperlihatkan ia sebagai manusia yang berusia lebih dari 100 tahun. Tidak hanya matanya yang masih tajam, telinga dan bicaranya masih jelas. Hanya cara berjalannya yang memperlihatkan ia sudah uzur. Posisi tubuhnya sudah bongkok.

Menurut Nenek Sukaesih yang juga tampak masih sehat, ibu kandungnya jarang sekali sakit. Kalau sakit, paling hanya demam dan cukup memanggil mantri. "Pernah diinfus di rumah tapi tidak lama sehat kembali. Yang agak sering sakit malah saya. Sampai-sampai pernah dirawat di Puskesmas," tuturnya sambil terkekeh.

Makanan Nenek Minah pun biasa saja, tak ada yang dipantang. "Semua makanan masuk. Kecuali seperti super mie karena harus dibeli. Dari mana kami punya uang. Tiap hari bisa sampai empat kali makan, tapi sedikit-sedikit. Ibu saya pun masih bisa hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain. Mulai dari mandi hingga berjalan," tuturnya.

Nenek Minah pun masih bisa bersosialisasi dengan warga sekitar. Termasuk pergi ke pengajian di madrasah sekitar 50 meter dari rumahnya. Nenek Minah sempat mengaku sebagai warga paling tua di kampungnya.

Dua nenek lainnya, Nenek Suki dan Nenek Kalsem yang juga mengaku berusia di atas 100 tahun, menurut Nenek Minah, usianya masih jauh di bawah dirinya. "Suki jeung Kalsem mah anak kamari. Basa Ema geus sakola SR, maranehannana mah barudak kene pisan (Saat saya sudah masuk SR atau Sekolah Rakyat, Suki dan Kalsem masih anak-anak)," tuturnya.

Tapi bagaimana memverifikasi pengakuan nenek-nenek itu? Lagi pula, catatan soal kelahiran di masa Hindia Belanda tak seluruhnya bagus, apalagi di pedesaan. Petugas BPS pun tidak melakukannya, misalnya dengan membandingkan seberapa detail ingatan nenek-nenek itu tentang peristiwa masa silam yang mudah dikenali orang kebanyakan.

Dosa Meninggalkan Shalat Fardhu


1. Shalat Subuh : satu kali meninggalkan akan dimasukkan ke dalam neraka selama 30 tahun yang sama dengan 60.000 tahun di dunia.
2. Shalat Zuhur : satu kalo meninggalkan dosanya sama dengan membunuh 1.000 orang umat islam.
3. Shalat Ashar : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan menutup/meruntuhkan ka’bah.
4. Shalat Magrib : satu kali meninggalkan dosanya sama dengan berzina dengan orangtua.
5. Shalat Isya : satu kali meninggalkan tidak akan di ridhoi Allah SWT tinggal di bumi atau di bawah langit serta makan dan minum dari nikmatnya.
Siksa di Dunia Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu :
1. Allah SWT mengurangi keberkatan umurnya.
2. Allah SWT akan mempersulit rezekinya.
3. Allah SWT akan menghilangkan tanda/cahaya shaleh dari raut wajahnya.
4. Orang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai tempat di dalam islam.
5. Amal kebaikan yang pernah dilakukannya tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
6. Allah tidak akan mengabulkan doanya.
Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Menghadapi Sakratul Maut :
1. Orang yang meninggalkan shalat akan menghadapi sakratul maut dalam keadaan hina.
2. Meninggal dalam keadaan yang sangat lapar.
3. Meninggal dalam keadaan yang sangat haus.
Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu di Dalam Kubur :
1. Allah SWT akan menyempitkan kuburannya sesempit sempitnya.
2. Orang yang meninggalkan shalat kuburannya akan sangat gelap.
3. Disiksa sampai hari kiamat tiba.

Siksa Orang yang Meninggalkan Shalat Fardhu Ketika Bertemu Allah :
1. Orang yang meninggalkan shalat di hari kiamat akan dibelenggu oleh malaikat.
2. Allah SWT tidak akan memandangnya dengan kasih sayang.
3. Allah SWT tidak akan mengampunkan dosa dosanya dan akan di azab sangat pedih di neraka.

07 April, 2010


Nasehat Kematian dari Umar bin Abdul Aziz r.a

http://yarasulullah.files.wordpress.com/2009/09/umar-bin-abdul-aziz.jpg




Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz r.a mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur jenazah tadi. Beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya“.
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?“.
Mereka menjawab, “Tentu”.
Umar berkata, “Kuburan ini memanggilku dan berkata, ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?‘, “Tentu“, jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?“.
“Tentu“, jawabku.
Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya“.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,
Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia. Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di dalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan begitu, dan banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah. Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.

Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi. Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?“.

Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah

Kamis, 18 November 2010

PP.NURUL HIDAYAH

SEKILAS Mengenang
(ULAMA’ PURWOREJO)
TAHUN 1916 – 1986
OLEH : KH. MUH. ACHADI ASNAWI

AYAHKU DAN GURUKU KH. MUH. ASNAWI UMAR





MASA KECIL
Di sekitar tahun 1916 (tanggal dan bulannya kurang jelas) di desa (sekarang kelurahan) Pangenjurutengah Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo lahirlah seorang anak bernama Kasan (yang kemudian nama dewasanya Muh. Asnawi) dari pasangan suami – isteri Bapak Amat Umar dan Ibu Nurriyah yang bermata pencaharian petani dan pedagang beras. Hidup di alam penjajahan Belanda, semuanya serba bersahaja dilihat dari segala aspek : sosial, ekonomi dan sebagainya. Kasan kecil dan keluarganya, tak lain dari sebagian komunitas yang akrab dan tak jauh dari kondisi dan potret dari keadaan waktu itu. Kasan kecil hanya tamat Sekolah Rakyat dan mengenal agamanya (Islam) dari orang tuanya, disamping guru-guru ngaji di kampung desanya. Pak Ahmat Umar (ayah Kasan) kebetulan mempunyai sebuah langgar kecil (surau) di dekat rumahnya. Agaknya dari situlah kecenderungan Kasan terhadap agama Islam dimulai.



MASA REMAJA
Setamat Sekolah Rakyat, ketika umur Kasan + menginjak 14 tahun, ia pergi mondok ke Pesantren Watucongol – Muntilan, mengaji dan berguru kepada Hadratus Syekh Romo KH. R. Dalhar. Cukup lama ia berkhidmah disana, sampai + total selama 16 tahun sampai akhirnya ia dipercaya sebagai Qori (pembaca Kitab kuning) dan lurah pondok disana. Kasan atau Muh. Asnawi bahkan sangat disayang oleh Romo KH. R. Dalhar dan menjadi tangan kanan kepercayaan beliau. Ketika Romo KH. R. Dalhar mengetahui bahwa Muh. Asnawi senang dan tertarik dengan hadis-hadis Nabi SAW, maka disuruhlah ia untuk memperdalam (mengaji) hadis ke Pesantren Tebu Ireng–Jombang–Jawa Timur. Maka dengan patuh, Muh. Asnawi kemudian berangkat ngaji mondok ke Pesantren Tebu Ireng, untuk berkhidmah kepada Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Kurang lebih selama 3 tahun, Muh. Asnawi mengaji di Pesantren tersebut, utamanya memperdalam hadis dan segala ihwalnya. Sepulang dari Pesantren Tebu Ireng, Muh. Asnawi sempat kembali ke Pesantren Watu Congol Muntilan, walau tidak seberapa lama.



PULANG KAMPUNG
 Ketika usia Muh. Asnawi sudah merangkak menginjak dewasa, sebagai pemuda yang sudah lumayan mengenyam pendidikan pesantren, ia oleh masyarakat mulai dipercaya untuk mengajar / mulang ngaji di Mushola rintisan ayahnya (Pak Amat Umar) dan di seputar kampungnya. Ia pun kemudian diambil menantu oleh Bapak H. Munawir dari Baledono Krajan Purworejo dijodohkan dengan putrinya – Khotijah. Tetapi agaknya Allah belum menakdirkan menjadi jodohnya, sebab ternyata Muh. Asnawi masih mondar-mandir ke pesantrennya di Watu Congol, belum bisa meninggalkannya secara total, walau beliau telah beristri. Akhirnya, pernikahan itupun kandas di tengah perjalanan yang masih teramat pendek, berakhir dengan furqoh (perceraian). Rupanya Muh. Asnawi masih lekat dan ental dengan almamater pesantrennya, sampai akhirnya baru bisa total meninggalkan Pesantrennya setelah ia dinikahkan lagi dengan Chomsatun binti H. Munawir (adik kandung Khotijah, mantan istrinya dahulu). Perkawinan yang kedua itu tercatat dalam salinan kutipan nikah tertanggal 10 Rabiul Awal 1359 H atau 18 April 1940. Dari perkawinan kedua inilah, kemudian Muh. Asnawi menurunan putra-putrinya yang sekarang. Sedangkan dengan istri pertama (Ibu Khotijah) belum sempat memberikan keturunan. Ibu Khotijah sendiri, kemudian diperistri oleh Bapak H. Thoifur dari Somolangu – Kebumen, dan kemudian menurunkan anak-anak putri yang banyak. Setelah mukim di rumah, Muh. Asnawi kemudian mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung santri-santri yang mengaji yang rumahnya jauh. Pondok itu teramat sederhana, yakni berupa panggung dari bambu terdiri dari beberapa guthekan (kamar), yang kemudian menjadi Pondok Pesantren “NURUL HIDAYAH” sampai sekarang. Beralamat di Pangenjurutengah Gang Santri Purworejo Telepon 321250 .



MASA PERJUANGAN
Sebagai seorang yang telah matang dalam kedewasaanya, Muh. Asnawi sebaai pribadi yang telah berkeluarga dan sebagai anggota masyarakat sekaligus sebagai bagian dari komunitas Umat Islam, ia pun dengan segala kekuatan dan kemampuannya berjuang agar eksistensinya selalu membawa manfaat. Ia pun berjuang untuk keluarganya dengan berjualan sebagai tukang kemasan kecil-kecilan dari satu pasar ke pasar yang lain. Di samping itu, ia juga berjuang untuk agamanya, dengan mengajar mengaji baik mengaji kitab-kitab, maupun pengajian umum di berbagai tempat, termasuk pula mengajar dengan sistem madrasi. Dalam kancah perjuangan organisasi keislaman, Muh. Asnawi aktif di organisasi Nadlatul Ulama, tercatat ia sebagai Ketua PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama). oleh karenanya, ia sempat mengikuti event-event muktamar NU di berbagai tempat (Medan-Surabaya-Jakarta dan sebagainya). Era pasca Khittoh NU, beliau dipercaya sebagai Rois Syuriyah NU Cabang Purworejo hingga wafatnya.
ERA SEBAGAI PEGAWAI
Kurang lebih di tahun 1953, lantaran dorongan dan ajakan serta motivasi dari karibnya-Almarhum KH. Saifudin Zuhri (Mantan Menteri Agama- Angota DPR / PR – RI), Muh. Asnawi diterima sebagai Pegawai Negeri Sipll di lingkungan Kementrian Agama. Ia ditugaskan pada Kantor Kenaiban (sekarang KUA) Kota Purworejo. Disitu pula ia kemudian menjadi Naib / Penghulu atau petugas pencatat nikah dan sekaligus sebagai Kepala KUA, pada akhirnya karier beliau terus meningkat sampai kemudian menjadi Kepala Dinas Urusan Agama Islam Kabupaten Purworejo merangkap sebagai Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Purworejo (Embrionya Kantor Departemen Agama Kabupaten). Beliau pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 1 Januari 1972 dengan pangkat terakhir Penata Muda Golongan III/a.
 SISI KEGIATAN LAIN
 Disamping beliau aktif dalam pemerintahan, juga dalam pelbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Beliau melakukan kegatan da’wah ke daerah-daerah, keluar masuk kampung, desa bahkan sampai ke pelosok pegunungan, terutama pada acara-acara mauludan, rejeban dan sebagainya, terkadang beliau pulang sampai larut malam bahkan menjelang subuh. Sering kali beliau pulang dengan membawa berkat (nasi makanan komplit) dengan ukuran kaliber (pakai engkung dan telor yang banyak, pisang 1 lirang dan sebagainya). Seorang yang selalu mengantar beliau dengan sepeda motornya (merk : IFA) adalah Bapak Suprapto (almarhum) mantan Kepala SD Pangenrejo, bertahun-tahun pak Suprapto mendampingnya. Pada tanggal 1 April 1962, beliau mendirikan jama’ah pengajian dengan nama : Jama’ah Qulhu (kemudian berubah menjadi jama’ah / Thoriqooh Ikhlasiyah) dengan wiridan utamanya membaca surat Qulhu / Ikhlas minimal sebanyak 1000 kali dalam satu selapanan (+ 36 hari). Pengajian itu diselengarakan setiap Ahad Kliwon antara pukul 09.30 – 12.30 WIB bertempat di Musholla dan sekitarnya (pondok, rumah). Pada mulanya, yang mengikuti pengajian (kebanyakan orang-orang tua) hanya berkisar 25 – 30 orang, kemudian berkembang terus hingga mencapai ribuan jama’ah setelah berjalan puluhan tahun. Sampai dengan saat ini (waktu tulisan dibuat: red), pengajian itu masih tetap eksis dengan hari dan waktu yang tidak diubah (pengajian akbar, selapanan Ahad Kliwon) dan dengan jumlah anggota yang sudah tercatat dalam buku induk telah mencapai lebih 5.000 orang. Disamping itu, beliau juga mengajarkan (mursyid) Thoriqoh Sadziliyah, yang beliau terima dari gurunya – Romo Kyai Dalhar. Beliau juga pernah aktif mengadakan pengajian “Dalailul Khoirat” dengan keliling dari rumah ke rumah seminggu sekali, pada sekitar tahun 1960 – 1970. Disamping itu pula, beliau mengadakan pengajian membaca Kitab Shohih Bukhori dan Muslim di Mushollanya dan di Masjid Agung Purworejo (kemudian berkembang menjadi darusan Kitab Bukhori yang diadakan keliling di tempat-tempat orang / Kyai yang bersedia mengunduh). Tercatat pula, beliau pernah aktif mengajar di Sekolah Persiapan IAIN (SP. IAIN) Purworejo dari sekitar tahun 1962 – 1972, bahkan sempat menjadi Staf Direktorium sekolah tersebut. Disamping itu beliau juga menjadi Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN “Sunan Kalijaga” Cabang Purworejo, dengan memegang mata kuliah Pengantar Ilmu Hadis dan Hadis, dan sekitar tahun 1966 – 1975 (sampai kemudian lembaga itu dilikuidasi ke induk IAIN “ Sunan Kalijaga” Yogyakarta). Selepas dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Cabang Purworejo (karena dilikuidasi), beliau bersama-sama dengan Ulama-ulama Purworejo (KH. Nawawi Shiddiq, Kyai R. Damanhuri, KH. Djamil, Kyai Maftuh Muhtar dan sebagainya) mendirikan Perguruan Tinggi Islam “Imam Puro” (PTII) dengan membuka dua fakultas (Tarbiyah dan Syariah). Beliau sempat menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi tersebut sampai dengan wafatnya. (Cat : PTII sekarang bernama STAINU). Beliau juga menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Purworejo, sebuah organisasi yang menjembatani antara umat Islam dan Pemerintah, jabatan tersebut, beliau embank hingga wafatnya. Di kalangan para jama’ah haji Purworejo, beliau juga dipercaya sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Kabupaten purworejo (IPH) yang beliau rintis berdirinya di Kabupaten Purworejo (sekarang menjadi IPHI). Disamping itu, masih segar dalam ingatan para pendengarnya beliau sering berda’wah pula lewat stasiun radio “Yafsi” Purworejo.
KARYA-KARYA BELIAU
 Bapak KH. Muh. Asnawi Umar cukup produktif dalam menulis, terbukti banyak karya-karya tulis yang beliau tinggalkan, diantaranya :
  1. Kitab “Durraotul Ahadis”
  2. Kitab “Arbain Al Asnawiyah”
  3. Risalah “ Manaqib Sadziliyah”
  4. Risalah “Mustikaning Surat”
  5. Risalah “Aqoid 50”
  6. Risalah “Al-Manqulatu fi bayani fadlilati qiroati suratil ikhlashi wal kalimatit thoyyibah”
  7. Risalah “ Surat Yasin dengan faidah-faidah dan khasiyah-khasiyahnya”
  8. Risalah “Mustikaning surat, Tahlil dan Do’a-doa penting”
  9. Syiiran-syiiran terdiri dari berbagai edisi.

SIFAT-SIFAT BELIAU
Sifat-sifat beliau yang menonjol dan sudah ditengarai oleh banyak orang adalah disiplin, moderat, lentur, telaten dalam memelihara sesuatu pengajian, mengikuti perkembangan zaman dan banyak inisiatif. Beliau wafat pada tanggal 24 Dzulhijjah 1406 H atau 29 Agustus 1986 dalam usia 70 tahun (Allahummagh firlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu), satu pekan setelah pulang dari ibadah haji yang ke-2, meninggalkan satu orang putra dan lima orang putri, yaitu :
  1. Asfiyah (Swasta)
  2. Awaliyah (PNS)
  3. Fatimah (Swasta)
  4. Muh. Asnawi (PNS)
  5. Isnaeni (PNS)
  6. Rohimah (PNS)

PESAN-PESAN
Diantara kata-kata / pesan beliau yang sering diucapkan dan dihafal oleh anak cucu dan murid / santri adalah :
  • Cekat-ceket (segera, jangan lambat)
  • Clipas-clipus / Gopas-gapes (untuk mengatakan murid / santri yang kurang tegas / kurang bertanggung jawab
  • Ojo wedi karo wong, ora bakal dibrakot (jangan takut terhadap sesame orang, tidak akan digigit!)
  • Aworo dlimor ojo nganti kawor (bergaulah dengan siapa saja, tapi jangan sampai terpengaruh yang negatif)
  • Ba’da sholat fardlu ojo lali kirim fatihah kanggo bapak-ibune  (ba’da sholat fardlu jangan lupa kirim fatihah untuk bapak-ibunya).
Demikian sekilas mengenang mendiang Almarhum Bapak KH. Muh. Asnawi Umar, semoga anak, cucu dan murid-murid beliau mampu meneruskan perjuangan beliau menegakan Agama Islam dan melestarikan kebaikan-kebaikan yang telah beliau rintis dan lakukan. Mudah-mudahan Allah swt. Mengampuni segala dosa beliau dan menerima amal sholihnya.
Purworejo, 23 Januari 2003
Penulis,

Muh. Achadi Asnawi